Ayam Jantan Dari Timur
Berakhirnya Masa Kejayaan Ayam Jantan dari Timur
Setelah Belanda berhasil mengalahkan Gowa, Sultan Hasanuddin mundur dari Benteng Somba Opu ke Benteng Kale Gowa. Walaupun mundur, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk dengan Belanda yang sudah membuat rakyatnya sengsara.
Sultan Hasanuddin kemudian memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya pada 29 Juni 1669. Kepemimpinan Kerajaan Gowa kemudian diberikan pada putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Setelah tidak menjabat sebagai raja, Sultan Hasanuddin lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar agama Islam pada masyarakat sekitar.
Sultan Hasanuddin menghembuskan nafas terakhirnya pada 12 Juni 1670 di usia 39 tahun. Jasadnya disemayamkan di pemakaman dalam benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate, yang diperuntukkan khusus bagi raja-raja Gowa.
Atas seluruh jasanya dalam perjuangannya melawan penjajah, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/tahun 1973.
Wah, menarik ya kisah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Semoga Sobat Medcom dapat melanjutkan perjuangan Sultan Hasanuddin, bukan untuk melawan penjajah tentunya, tapi untuk membawa Indonesia ke level yang lebih tinggi lagi di mata dunia.
(Seri Publikasi Koleksi Museum Perjuangan Yogyakarta)
Terlahir dengan nama I Malambasi, sosok ini kemudian bergelar Sultan Hasanudin. Sementara, Balanda menjulukinya de Haav van de Osten alias Ayam Jantan dari Timur karena kegigihan dan keberaniannya. Ia lahir pada tanggal 12 Januari 1631, dan naik tahta menjadi Raja Gowa (Makassar) ke 16 pada usia 24 tahun (1655) menggantikan ayahnya Sultan Muhammad Said.
Zaman pemerintahan Sultan Hasanudin merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa sehingga dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur karena lokasinya yang sangat strategis, yakni terletak di tengah-tengah lalu lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Selain itu, kerajaan Gowa menjadi kekuatan politik yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satu pun kekuatan politik lokal yang mudah menaklukaannya. Kerajaan ini sangat kuat, kapal dagang dan duta yang datang ke Makassar bersaksi atas kebesarannya (Andaya, 2004:55-56).
Ditengah kuatnya hegemoni Kerajaan Gowa di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya, bahkan di seluruh Indonesia bagian timur, pada saat yang bersamaan, kerajaan itu juga mendapatkan ancaman yang bertubi-tubi dari orang Bugis dibawah pimpinan Aru Palaka yang kemudian bekerjasama dengan penjajah Belanda (VOC). Terkait ketegangan yang terjadi antara Kerajaan Gowa dengan VOC, sesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Sultan Hasanudin bertahta karena, VOC yang dihinggapi demam rempah-rempah kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang (mengkulak) rempah-rempah di kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah untuk dijual kembali ke Gowa yang merupakan pusat perdagangan. Sultan Hasanuddin, seperti juga pendahulunya, menentang keras segala upaya monopoli di laut dan perdagangan
Terhadap hak monopoli yang hendak di jalankan VOC tersebut, Kerajaan Gowa berpendirian: “Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan diantara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, bukan hanya untuk VOC atau orang-orang Belanda. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu maka Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain. Demikianlah pendirian dari Sultan Hasanudin serta para pendahulunya, yakni Sultan Muhammad Said dan Sultan Alaudin. Itulah sebabnya mengapa kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC. Sebaliknya, VOC berusaha keras untuk menghancurkan dan menyingkirkan kerajaan Gowa (Sagimun, 1985:71)
Puncak pertentangan kerajaan Gowa dengan VOC ditandai dengan meletusnya Perang Makassar pada tahun 1666. Dengan menjalankan Politik Devide et Impera, VOC mendekati daerah yang ingin memberontak untuk dijadikan sekutu agar tidak banyak korban yang jatuh dari pihak VOC. Maka dihimpunlah suatu pasukan ekspedisi yang terdiri atas 21 kapal yang mengangkut 600 orang tentara berkebangsaan Eropa, serdadu Ambon, dan Arung Palaka beserta pasukan Bugisnya. Panglima armada tersebut adalah Cornelis Speelman yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal. Peperangan ini terjadi di darat maupun dilaut yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya. (Ricklefs : 133)
VOC beserta sekutu-sekutunya keluar sebagai pemenang dalam pertempuran tersebut, kemudian Sultan Hasanudin dipaksa tunduk dalam Perjanjian Bungaya ( 18 November 1667). Namun Sang Ayam Jantan dari Timur dengan tegas menolak melaksanakan isi perjanjian Bungaya dan kembali melakukan perlawanan, hingga mendapatkan serangan besar-besaran dari VOC dan sekutu-sekutunya sejak bulan April 1668 hingga Juni 1669. Pasukan Sultan Hasanudin kalah dalam pertempuran tersebut sehingga perjanjian Bungaya terpaksa harus dilaksanakan. Perjanjian ini menimbulkan perubahan politik besar-besaran di Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa dipersempit kekuasaannya, sedangkan Bone dan Bugis terbebas dari kekuasaan kerajaan Gowa. Benteng yang berada di Ujung Pandang diserahkan kepada VOC, dan diberi nama baru ‘Rotterdeam’ yang diambil dari nama tempat kelahiran Cornelis Speelman.
Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Benteng kebanggaan kerajaan Gowa yang menjadi saksi bisu kegigihan Sultan Hasanudin dan pasukannya melawan kesewenang-wenangan penjajah ini kemudian dihancurkan sampai rata dengan tanah oleh orang-orang Belanda. Karena tebal dan kokohnya dinding tembok yang melingkari benteng Kerajaan Gowa ini, Belanda menggunakan beribu-ribu pon mesiu untuk meledakkannya. (Sagimun, 1985: 428)
Lima hari setelah Benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC, Sultan Hasanudin mengundurkan diri dari tahta kerajaan. Ia menyerahkan tahta pada putranya I Mappasomba Daeng Nguraga (Sultan Amir Hamzah) yang saat itu berusia 13 tahun. Setahun setelahnya, Sultan Hasanudin meninggal dunia pada usia 39 tahun. Berkat kegigihannya mempertahankan kehormatan negerinya, Gelar Pahlawan Nasional disematkan pada Sultan Hasanudin yang diteguhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1973 No. 887/TK/Tahun 1973. Relief patung Sultan Hasanudin, salah satunya bisa kita jumpai berjajar bersama dengan Pahlawan Nasional lainnya di Museum Perjuangan Yogyakarta.
Penulis: Lilik Purwanti (Pamong Budaya Pertama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta)
Perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda
FYI, ketegangan antara Kerajaan Gowa dengan VOC ini sudah terjadi sejak pemerintahan Sultan Alaudin, guys. Sejak tahun 1616, VOC sudah berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah Indonesia Timur bersama orang Spanyol dan Portugis. VOC memaksa rakyat menjual rempah-rempahnya dengan harga yang ditetapkan oleh mereka.
Tidak cukup di situ, VOC juga secara licik mengatur rakyat agar menebang pohon pala dan cengkeh di beberapa tempat. Tujuannya agar jumlah rempah-rempah jadi terbatas. Dengan begitu, harganya jadi naik, deh. Jahat sekali, kan?
Hal ini tentu akan melemahkan pada ekonomi rakyat dan kerajaan. Hanya Kerajaan Gowa yang waktu itu selalu tegas menolak monopoli yang dilakukan VOC.
Perjuangan perlawanan Kerajaan Gowa terus berlanjut di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Sesuai prinsip yang dianut oleh Kerajaan Gowa, Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan bagi umat manusia, tak terkecuali. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan apa yang sudah dilakukan Belanda.
Baca Juga: Pengakuan India atas Kemerdekaan & Kedaulatan Indonesia
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa. Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda
Ketegangan antara Kerajaan Gowa dengan VOC ini sudah terjadi sejak pemerintahan Sultan Alaudin, guys. Sejak tahun 1616, VOC sudah berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah Indonesia Timur bersama orang Spanyol dan Portugis. VOC memaksa rakyat menjual rempah-rempahnya dengan harga yang ditetapkan oleh mereka.
Tidak cukup di situ, VOC juga secara licik mengatur rakyat agar menebang pohon pala dan cengkeh di beberapa tempat. Tujuannya agar jumlah rempah-rempah jadi terbatas. Dengan begitu, harganya jadi naik.
Hal ini tentu akan melemahkan pada ekonomi rakyat dan kerajaan. Hanya Kerajaan Gowa yang waktu itu selalu tegas menolak monopoli yang dilakukan VOC.
Perjuangan perlawanan Kerajaan Gowa terus berlanjut di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Sesuai prinsip yang dianut oleh Kerajaan Gowa, Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan bagi umat manusia, tak terkecuali. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan apa yang sudah dilakukan Belanda.
Masa Kecil Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631 dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Walaupun terlahir dari keluarga bangsawan, Sultan Hasanuddin senang bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat biasa.
Ketika Hasanuddin berusia 8 tahun, ayahnya, Sultan Muhammad Said naik tahta sebagai Raja Gowa yang ke-15. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol saat ia masih kecil. Selain itu, Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang. Di usia muda, Hasanuddin sudah memiliki jaringan dagang hingga di Makassar dan bahkan asing.
Sultan Hasanuddin kecil mengenyam pendidikan di Masjid Botoala. Ia juga kerap diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting kerajaan.
Ayahnya ingin Hasanuddin bisa belajar ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa mudanya juga, Hasanuddin sudah beberapa kali dipercaya untuk menjadi delegasi Kerajaan Gowa dalam mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan.
Baca Juga: Mengenal Ismail Marzuki, Sang Maestro Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Actions (login required)
Murniah, Dad and Untoro, Setyo (2016) Ayam Jantan dari Timur. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta. ISBN 978-979-069-008-0
Lahirnya Perjanjian Bongaya
Keadaan tersebut membuat Sultan Hasanuddin terdesak. Mau tidak mau, pemimpin Kerajaan Gowa tersebut harus menandatangani perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bongaya yang berlangsung pada 18 November 1667 di Bungaya.
Secara garis besar, isi Perjanjian Bongaya seperti berikut:
Karena tidak punya pilihan, Sultan Hasanuddin harus menyetujuinya walaupun perjanjian ini merugikan Kerajaan Gowa.
Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perlawanan ini, Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Kerajaan Gowa, yaitu Benteng Somba Opu. Akhirnya, Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin harus kembali tunduk pada Belanda. Kegigihan Sultan Hasanuddin yang tidak pantang menyerah ini dijuluki sebagai De Haantjes van Het Ooston oleh Belanda yang berarti Ayam Jantan dari Timur.
Actions (login required)
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Sultan Hasanuddin adalah seorang pahlawan nasional yang dikenal dengan julukan Ayam Jantan dari Timur. Kok bisa? Yuk simak kisah perjuangannya sebagai Pemimpin Kerajaan Gowa melawan Belanda!
Siapakah pahlawan dari Makassar yang mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur? Yap! Jawabannya adalah Sultan Hasanuddin. Dalam pelajaran Sejarah di sekolah pasti kita sudah tidak asing dengan julukan tersebut yah! Tapi, kamu tau nggak sih, kenapa Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur?
Jadi, Sultan Hasanuddin berasal dari Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan dan dikenal sangat gigih dalam mengusir penjajah. Atas kegigihannya ini, Belanda memberikan julukan kepadanya Haantjes van Het Oosten atau Ayam Jantan dari Timur.
Nah, dalam artikel ini, kita akan menyimak kisah hidup Sultan Hasanuddin dan masa perjuangannya melawan penjajah. Yuk simak!
Pecahnya Perang Makassar
Dalam upayanya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus memperluas wilayah kekuasaannya. Pada Februari 1660, Sultan Hasanuddin memanggil Tobala Arung Tanette. Ia meminta Arung Tanette untuk memimpin orang Bone untuk memperkuat pertahanan Makassar dalam melawan Belanda.
Tobala Arung Tanette menyatakan bahwa dirinya selaku pemimpin orang Bugis Bone siap berperang bersama Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Hal ini demi menjaga harga diri dan martabat orang Bugis Bone.
Selanjutnya, Tobala memimpin orang Bugis Bone untuk pergi menjaga wilayah yang terletak di bagian belakang Makassar. Tobala juga melaporkan setiap usaha Belanda yang ingin membujuk orang Bugis untuk melawan Makassar.
Singkat cerita, Tobala Arung Tanette membawa orang Bone yang berjumlah sekitar 10.000 berjalan melintasi gunung-gunung tinggi menuju Makassar. Sampai di Makassar, mereka dibagi kelompok dan ditugaskan untuk menggali parti di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar.
Mulai dari benteng paling selatan Barombong sampai benteng paling utara Ujung Tana. Proses penggalian parit ini dilakukan secara paksa.
Orang Bone dipaksa bekerja siang malam untuk menggali parit. Perlakuan ini membuat Arung Palakka, pimpinan Kerajaan Bone marah dan tergerak untuk memberontak. Dari sini, Belanda mulai merasa ada percikan konflik internal terjadi antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Tanpa menunggu lama, Belanda memanfaatkan celah ini. Long story short, akhirnya Kerajaan Bone yang awalnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa berhasil dihasut oleh Belanda untuk membantu VOC.
Perang Makassar berlangsung dari 1666-1669. Dalam perang ini, Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone untuk melawan kerajaan yang dipimpin Sultan Hasanuddin.
Berakhirnya Masa Kejayaan Ayam Jantan dari Timur
Setelah Belanda berhasil mengalahkan Gowa, Sultan Hasanuddin mundur dari Benteng Somba Opu ke Benteng Kale Gowa. Walaupun mundur, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk dengan Belanda yang sudah membuat rakyatnya sengsara.
Sultan Hasanuddin kemudian memutuskan mengundurkan diri dari tahtanya pada 29 Juni 1669. Kepemimpinan Kerajaan Gowa kemudian diberikan pada putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Setelah tidak menjabat sebagai raja, Sultan Hasanuddin lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengajar agama Islam pada masyarakat sekitar.
Sultan Hasanuddin menghembuskan nafas terakhirnya pada 12 Juni 1670 di usia 39 tahun. Jasadnya disemayamkan di pemakaman dalam benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate, yang diperuntukkan khusus bagi raja-raja Gowa.
Atas seluruh jasanya dalam perjuangannya melawan penjajah, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/tahun 1973.
Jadi, apa yang bisa kamu ambil dari kisah perjuangan Sultan Hasanuddin tadi? Selain kisah Sultan Hasanuddin, masih banyak kisah pahlawan-pahlawan perjuangan yang menarik untuk dipelajari, lho! Yuk temukan kisahnya di ruangbelajar sekarang!
Jakarta: Nama Sultan Hasanuddin,
dari Makassar tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pahlawan yang mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur ini pun menjadi nama wajib yang masuk ke dalam buku-buku di mata pelajaran sejarah di sekolah.
Mendapat julukan tersebut, mungkin belum banyak Sobat Medcom yang tahu kenapa Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur. Sultan Hasanuddin,
yang berasal dari Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan ini dikenal sangat gigih dalam mengusir penjajah.
Atas kegigihannya ini pula, Belanda memberikan julukan kepadanya
atau Ayam Jantan dari Timur. Artikel ini akan menarik Sobat Medcom ke masa-masa perjuangan Sultan Hasanuddin ketika melawan penjajah, mulai dari masa kecilnya hingga perjalannya menjadi sultar.
Dilansir dari laman Ruangguru, Hasanuddin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631 dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Walaupun terlahir dari keluarga bangsawan, Sultan Hasanuddin senang bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari rakyat biasa.
Ketika Hasanuddin berusia 8 tahun, ayahnya, Sultan Muhammad Said naik tahta sebagai Raja Gowa yang ke-15. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol saat ia masih kecil.
Selain itu, Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang. Di usia muda, Hasanuddin sudah memiliki jaringan dagang hingga di Makassar dan bahkan asing.
Sultan Hasanuddin kecil mengenyam pendidikan di Masjid Botoala. Ia juga kerap diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting kerajaan.
Ayahnya, ingin Hasanuddin bisa belajar ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa mudanya juga, Hasanuddin sudah beberapa kali dipercaya untuk menjadi delegasi Kerajaan Gowa dalam mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan.